Pulanglah, Nak
#Pentigraf
Pulanglah, Nak
Oleh: Zahra Arifia
Pagi tadi temanku mengirim kabar, katanya ia mendapatkan pekerjaan di Ibu Kota. Tak ada alasan untuknya menolak sebab gaji yang ditawarkan lumayan besar. Kemudian kemarin temanku yang lainya mengirimkan kabar, buku keduanya telah siap cetak. Ia berharap agar aku bisa membaca bukunya, ia juga bilang aku orang pertama yang dikabari perihal ini. Entahlah perkataan itu benar atau tidak, atau hanyalah bagian dari marketing nya untuk memikat hatiku. Entahlah. Sepanjang percakapan dengan mereka, hatiku perih. Aku bahagia sekaligus iri mendengar kabar itu. Aku ingin jadi seperti mereka.
"Nak, Bapak di kampung sakit. Tak bisakah kamu pulang barang sebentar? Kasian, ia membutuhkanmu." Ibuk menelepon dengan nada sendu. Bagaimana bisa aku tak tersentuh, sebab rinduku sudah hampir memenuhi seluruh tubuhku. Aku ingin pulang buk, batinku. Tapi apa yang bisa aku persembahkan? Pekerjaanku disini tak pasti, lebih sering menatap kosong langit-langit kamar sembari berharap ada hujan uang. Aku tak kuasa membayangkan wajah kedua orangtuaku di kampung sana. Anaknya yang pandai berjanji; berjanji akan membahagiakan mereka, berjanji akan membelikan apapun yang mereka inginkan, berjanji menjadi orang yang tak pernah menyerah. Sedangkan anak tetangga sudah banyak yang mapan dan mampu membelikan kebutuhan hidup orang tuanya. Tapi aku? Gajiku tak pasti, jikalau aku harus pulang kampung, separuh uangku habis di perjalanan, separuh lagi ku berikan untukmu buk. Lalu bagaimana aku kembali kesini? Menjauh dari kampung halaman dan berharap pundi-pundi uang bisa ku kumpulkan. Aku bahkan malu untuk mengakui, aku tak punya apa-apa untuk membuat kedua orangtuaku bahagia.
Keputusan yang berat, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Bapak sedang membutuhkanku, mestinya ibuk juga. Walaupun terpaan angin akan lebih kencang dari biasanya. Mereka membutuhkan kehadiranku, itu kata hatiku. Katanya juga aku akan lebih menyesal lagi jika seandainya ini adalah kesempatan terakhirku memberikan pelukan untuk bapak, memberikan balasan atas harapan untuk ibuk. Aku hanya perlu menyiapkan senyum saja, seolah aku telah hidup dengan baik di perantauan. Jika saja nanti ibuk tau aku berbohong, setidaknya ibuk tak pernah berhenti berdoa untuku. Pelukannya adalah tempat ku pasrah. Ibuk boleh tau apa saja, tapi aku akan menyembunyikan semampunya.
"Ibuk senang, anak ibuk tak melupakan jalan pulang. Bapakmu di kamar, duduklah di sampingnya. Sudah tiga hari ia tak berhenti memanggil namamu."
Komentar
Posting Komentar