Tertanda, Pas Mulai Beranjak Dewasa

Akhir-akhir ini aku jadi sering berpikir, sebenernya aku hidup ngejar apa to? Kok kadang rasanya capek dan pengen nyerah aja. Nggak jarang juga kenangan-kenangan di masa kecil berseliweran. Mereka menyapa dengan saru nya, “Piye? Penak dadi cah cilik wae to?”. Yo seandainya Doraemon diciptakan nyata di dunia ini, pasti bisnisnya sudah laris diburu oleh orang yang mulai beranjak dewasa, yang sangat membutuhkan mesin waktu untuk kembali di masa hidupnya yang bisa haha hihi huhu hehe hoho tanpa adanya beban.

Beranjak dewasa menurutku adalah masa yang tanggung, bisa dikatakan sudah terlalu besar untuk merengek, tapi juga masih terlalu kecil untuk menyerah. Kadang mau curhat pun percuma. Pikiran nggak menemui ketenangannya. Pasalnya, sudah beberapa kali aku curhat pada orang yang aku anggap sudah melewati masa-masa krisis hidup sepertiku dan jawabanya sama sekali nggak  membuat isi kepalaku berhenti mengoceh. Semua jawaban kurang lebih sama, “Sing sabar” atau, “Wajar kok usiamu ngalamin perasaan yang kayak gitu”, atau level lebih tingginya dikasi quotes-quotes dari tokoh-tokoh yang piawai dalam merangkai bahasanya. Ya iya sih bener, tapi kok rasa-rasanya bukan itu yang aku butuhkan.

Krisis hidup ini tak amat-amati kok cukup kronis juga ya… Soalnya nggak Cuma menyerang psikis saja, tapi jadi memberhentikan mood yang masalahnya merembet-merembet. Misalnya gini, hanya karena melihat seorang teman yang jualan kemudian memposting jualannya di medsos membuat kegaduhan seisi kepala. “Kok dia keren sih, bisa jualan” “Aku bisa nggak ya? Sedangkan skill marketingku dan sosialku terbatas” “Aku nggak guna banget to hidup cuma jadi beban keluarga.”, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang bersahut-sahutan. Setelah timbul kegaduhan, mulailah malas melakukan kegiatan sebab energinya sudah terkuras oleh isi kepala, kemudian jadi malas bertemu dengan orang-orang sebab menganggap orang-orang tidak menyelesaikan masalahnya. Padahal yang dilakukan hanyalah menutup diri, merenung, rebahan, dan itu semua juga enggak menyelesaikan masalah sama sekali.

Kabar baiknya, walaupun krisis hidup ini membuat aku kewalahan menghadapi emosiku sendiri, aku masih bisa berpikir waras. Ada sedikit penerangan, yang rasa-rasanya penerangan ini datang dari doa Ibuku di setiap waktunya hehe. Pokokmen aku harus bisa berdamai dengan diriku sendiri dan melawan aura-aura negatif haha. Berdasarkan spekulasiku, caranya ya dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan diri tapi sebetulnya itulah yang membuatku merasa sedikit ringan. Seperti bergerak dan keluar dari belenggu pikiran yang emang perlu. Soalnya jika dibandingkan dengan menutup diri, berbagi rasa dengan orang yang tengah mengalami perasaan yang sama juga lumayan melegakan. Yo ora ketang isine mung pisuh-pisuhan hehe. Terus juga dibanding dengan rebahan yang terlalu over, lebih baik berkegiatan, itung-itung cari keringat kan hehe.

Jadi menurutmu apakah setelah menuliskan ini perasaanku sudah tenang dan lega? Oh, tentu tidak semudah itu, sayang. Kepalaku masih dipenuhi dengan kalimat-kalimat negatif yang sedang aku olah menjadi kalimat positif. Untuk membawa jari-jariku ke keyboard ini saja susahnya minta ampun. Sebab kalimat di kepalaku saling tumpang-tindih berebut untuk dituangkan terlebih dahulu. Tapi setidaknya dengan menuliskan ini, selain berbagi penderitaan (haha), juga nantinya ketika aku berhasil melewati masa-masa krisisku aku mau ketawa karena sudah berhasil melewatinya. Tapi kalo nyatanya di depan sana lebih banyak cerita-cerita yang makin ngajak becanda, yasudah nggakpapa, toh aku tetap menulisnya, ra ketang misuhe dadi luwih akeh sih hehe.

Komentar