Karto

Oleh: Zahra Arifia Shaumi

Waktu itu kau telah berjanji tak akan tinggalkan kami. Air mataku bahkan tak jadi jatuh sebab kau usap dengan ujung bajumu. Kau mengusap perutku yang waktu itu tengah mengandung anak kita, Karto. “Aku mau cari uang dulu ya. Kamu tak usah khawatir, aku pasti pulang.” Seperti itu ucapmu dua tahun lalu di teras rumah sebelum punggungmu benar-benar tak tampak. Kau berbohong padaku, Karto. Apa kau tak rindu dengan anak ini yang kita buat dengan cinta? Dia sudah mulai cerewet dan ingin tau banyak hal. Sebentar lagi mungkin dia akan bertanya dimana ayahnya, seperti yang teman-teman sebayanya punya. Lalu aku harus menjawab apa, Karto? Bagaimana bisa aku menjawab ayahnya mati, jika tak ada bukti nisan? Bagimana bisa aku menjawab ayahnya pergi dan tak kunjung kembali pada anak yang tak seharusnya ditinggal pergi? Aku tak tega, Karto. Tapi bagaimana bisa disini aku merasa bersalah sendirian, sedangkan dirimu? Apa kau masih ingat aku? Atau bahkan kau sudah memiliki perempuan lain yang entah dimana tempatmu kini berada?

Aku tidak tau harus menyebut diriku apa, nasibku sudah sama seperti janda. Sejak tak terdengar kabar dari suamiku, aku mulai mandiri membuat kue untuk dijual di warung-warung dekat rumah. Hasilnya memang tak seberapa, yang penting cukup untuk membeli kebutuhan anakku sehari-hari. Aku sudah yatim-piatu sejak SMP, saat itu pula aku bertemu dengan Karto. Seseorang yang membantuku bangkit dari kesedihan. Dia memang tidak meneruskan sekolahnya, dia lebih memilih bekerja menjadi nelayan. Pada saat itu juga dia menjamin hidupku dan meminta ijin pada pamanku. Sebagai orang desa yang tak berharap banyak dengan masa depan, pamanku mengijinkan kita menikah seminggu setelah hari kelulusanku.

Satu tahun menyandang status sebagai pasangan suami-istri, tidak banyak masalah diantara kita. Dia pun tampak sangat mencintaiku. Sampai akhirnya, di bulan ke empatbelas setelah hari pernikahan kita, aku hamil. Aku sangat bahagia sebab sebentar lagi aku dan Karto akan memiliki anak. Tidak ada yang janggal dari Karto, dia masih menjadi seseorang yang penuh cinta. Sampai akhirnya, seorang temannya mengajak ia merantau ke Ibu Kota. Katanya ada pekerjaan bagus yang gajinya pun sangat menjanjikan bagi kita yang selama ini hidup dalam kemiskinan. Karto pun meminta ijin padaku, dan berjanji akan selalu memberi kabar di sela-sela waktunya bekerja. Dengan berat hati, aku memberinya ijin sebab hidup yang bergantung pada nasib. Seminggu Karto di perantauan, ia masih mengirimiku pesan. Tapi setelah itu nihil, tak ada satupun pesan dari Karto yang masuk. Awalnya aku khawatir dan bertanya pada rekan-rekannya, tapi mereka tak ada yang tau satupun hingga kini sudah berjalan dua tahun.

“Ayo Nduk, mandi dulu terus kita ke warung Mbok Sri mengantar kue”. Mata anakku mirip dengan mata Karto, pun dengan tatapan yang penuh cinta itu. Terkadang tatapan itu justeru membuatku sedih sebab aku merindukan Karto yang kini tak ada lagi kabar, tapi tatapan itu sekaligus menjadi kekuatanku karena barangkali ia adalah satu-satunya yang tersisa dari cinta kami.

“Bebek adus kali… nyosori sabun wangi… bapak tumbas roti… Laksmi mboten diparingi…” Itu lagu kesukaan Laksmi saat sedang kumandikan. Sambil tertawa terbahak-bahak dengan sesekali ia menyangkal, “Laksmi diparingi buuuuu…” Kami pun tertawa bersama. Ah Nduk, hanya kamu satu-satunya yang ibu punya di dunia ini. Ibu pasti akan berusaha untuk membuatmu bahagia, Nduk. Pasti.

“Mbok Sri, ini kuenya ya… Jumlahnya ada 50 biji.” Aku datang menggembol kue yang akan aku titipkan di warung Mbok Sri sembari menggandeng tangan anakku, Laksmi.

“Oh iya Nur, Terimakasih ya.” Mbok Sri menjawab singkat, tampak sedang sibuk dengan warungnya yang ramai dengan pembeli.

“Nur, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kapan kamu ada waktu?” Tanya Yu Lastri kepadaku yang hendak meninggalkan warung menuju warung berikutnya.

“Setelah kue-kue ini selesai ku antarkan aku bisa meluangkan waktu. Memangnya ada apa Yu Lastri?”

“Kalau begitu setelah kamu selesai mengantar kue-kue itu, mampirlah ke rumahku. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan. Yowes tak belanja dulu, sampai nanti yo.”

Belum sempat aku mengiyakan, Yu Lastri sudah berjalan meninggalkanku menuju ke warung Mbok Sri. Tapi ya tidak apa lah, sambil silaturrahim. Sudah lama aku tak ke rumah Yu Lastri.

Setelah semua kue sudah ku antarkan ke warung-warung, aku dan Laksmi bergegas menuju rumah Yu Lastri.

Tok… tok… “Assalamu’alaikum”

“Waalaikumsalam… Apakah itu kamu, Nur”

“Iya Yu, ini saya, Nur.”

“Sini Nur, masuk dulu…”

“Jadi maksud Yu Lastri mengundang saya kesini anu ada apa nggih…”

“Begini Nur, suamiku kan kemarin habis pulang dari Ibu Kota. Katanya beliau bertemu dengan kawan yang mengajak Karto merantau ke sana…”

Pikiranku sudah tak karuan. Jantungku berdebar kencang. Mataku berkaca-kaca menanti kelanjutan cerita dari Yu Lastri. Semoga ini pertanda baik. Semoga.

“Karto mengalami kecelakaan kerja seminggu setelah bekerja di sana. Ia tak mau membuatmu khawatir, makanya ia tak pernah mengirimimu kabar. Katanya ia sudah tak punya keinginan selain mati sebab ia merasa sudah tak bisa menghidupimu. Nasib baik ia punya kawan yang mau merawatnya di sana. Kamu yang sabar ya, Nur. Ini ada surat dari Karto untukmu.”

Aku yang kehilangan kata menerima surat dari Yu Lastri tanpa daya. Aku membacanya dengan perasaan campur aduk. Air mataku menetes deras. Sementara Laksmi sedang bermain dengan bonekanya, tidak begitu menghiraukan kami.

“Untuk Nur Tercinta,

Nur, maafkan aku sebab aku mengingkari janjiku. Aku tak kuasa membayangkan wajahmu, Nur. Aku sudah tak berguna, maka lebih baik aku menghilang dari kehidupanmu. Aku malu, Nur, bahkan pada anak kita yang wajahnya belum pernah ku lihat sebelumnya. Aku memang bukan suami dan bapak yang baik untuk kalian, maka bertahanlah hidup di sana tanpaku.

Semoga kalian sehat selalu dan bisa memiliki keluarga baru.

Salam, Karto”

Gusti, kenapa hal ini harus terjadi pada Karto? Pada hidup kami? Maafkan aku sebab sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai Karto. Masih dengan tangisan yang perlahan bisa ku tahan. Perasaan yang tiba-tiba menemui titik terangnya. Ku peluk erat Laksmi, sambil berbisik, “Kita kuat, Nak. Mari bekerja lebih keras dan menjemput bapak di Ibu Kota."


Cilacap, 17 Januari 2021

Komentar