Romantisasi Angkot Pak Kumis
Sebuah kenangan waktu masih putih abu-abu …
Pak kumis adalah seorang sopir angkot yang
menjadi langganan anak-anak di sekolahku saat pesiar tiba. Pesiar itu adalah
satu hari dimana siswa/siswi diperbolehkan keluar dari area sekolah dan asrama.
Tentunya dengan batasan waktu tertentu. Balik lagi ke Pak Kumis. Jarang sekali
atau bahkan tidak ada dari kita yang tau nama asli beliau siapa haha. Kita memanggilnya
Pak Kumis sebab beliau memiliki kumis tebal yang khas.
Angkot Pak Kumis sangat laris pas hari
pesiar tiba, beliau bisa bolak-balik ke sekolahku lima kali hanya untuk
mengantarkan anak-anak ke tempat yang ingin mereka tuju. Tapi hal itu tidak
berlangsung lama, angkot Pak Kumis mulai sepi sejak adanya applikasi ojek
online. Itu terjadi sekitar tahun 2017an, tepatnya waktu aku kelas dua SMA. Pada
saat itu anak-anak mulai jarang menggunakan jasa angkot Pak Kumis lagi, mungkin
karena dengan jasa applikasi ojek online lebih praktis, disisi lain juga tidak
harus menunggu lama hingga ber-kloter-kloter hehe.
Naik angkot Pak Kumis itu menyenangkan, suara
mesin yang terdengar mengeram di telinga, seperti ada romantisme tersendiri.
Panas bercampur polusi yang dihasilkan oleh kendaraan, melihat kegiatan
orang-orang di sepanjang jalan yang kita telusuri dari kaca angkot yang dibuka
sedikit, bercerita dengan kawan-kawan dengan nada yang sedikit ngegas karena balapan
dengan suara mesin, menjadikan suasana terasa asik dan rekat. Dibanding dengan
mobil yang dipesan melalui applikasi online. Suara mesinnya yang halus,
dilengkapi dengan AC yang sejuk, ditambah enggan bergosip sebab sungkan dengan
sopirnya, ah garing. Iya sih secara fasilitas tentunya lebih nyaman, tapi
rasanya kaya ada yang hilang gitu haha.
Tapi ya itulah zaman. Kalau ada yang lebih
efisien secara waktu dan biaya jasa, kenapa tidak?
Tapi jujur, ketika naik angkot
Pak Kumis, melihat raut wajahnya yang tulus dan sabar menghadapi kami yang
super heboh, aku jadi merasa iba. Dengan kemampuan dan pengetahuan seadanya,
beliau tentu akan mempertahankan pekerjaan itu meski terus digilas oleh zaman. Sesekali
aku bertanya, “Bapak kalo narik angkot dari jam berapa pak?”, beliau menjawab “Dari
shubuh sudah siap-siap soalnya kan pagi di pasar rame. Terus ya sampai sore”. Waktu pagi hingga sore hari, dengan penumpang yang mungkin itu-itu saja, ditambah hasil yang diterima pun tidak seberapa. Apalagi sekarang ini, sudah jarang sekali angkot terlihat di
sepanjang jalan raya. Orang-orang sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi
atau setidaknya punya gadget untuk memesan ojek online. Hidup ini keras ya lurr!
Setiap orang memang memiliki kenangan yang berkesan akan suatu hal, dan bagiku angkot Pak Kumis menyajikan romantisme tersendiri waktu itu.
Aku merasa bisa belajar banyak dari apa-apa yang aku lihat saat angkot Pak
Kumis melaju menyusuri jalan. Suara bising perkotaan, bersahutan dengan kami yang ada di dalam angkot yang tak kalah heboh dengan berbagai macam topik pembicaran. Bukan diskusi ya, tapi nggosip. Eh tapi bisa juga dikatakan diskusi ding, sebab isinya terkadang menyangkut kemaslahatan bersama hehe. Tak jarang, wajah seseorang yang tinggal di asrama seberang pun kadang lewat begitu saja. Ah, manis sekali kenangan itu
hehe.
Terakhir kali aku naik angkot Pak Kumis itu
Januari tahun lalu. Ketika ada acara temu kembali alumni, aku dan teman sekelasku
piknik alias jalan-jalan, sambil itung-itung nostalgia lah ya. Tahun lalu, kumisnya
Pak Kumis belum berubah, masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya hehe. Sedangkan
tahun ini entahlah apakah ada acara temu kembali alumni lagi atau tidak sebab
kondisinya pun belum stabil. Tapi semoga Pak Kumis sehat selalu dan dilancarkan
rejekinya. Aamiin...
Komentar
Posting Komentar