Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Standar Kecantikan yang Membelenggu

Oleh. Zahra Arifia Shaumi Perempuan di Indonesia terbelenggu dalam standar kecantikan yang dibuat oleh masyarakat. Bahwa cantik itu berarti ia yang memiliki postur tubuh ramping, berkulit putih, bibir yang tipis dan merona, serta kecantikan-kecantikan yang hanya digambarkan melalui fisik. Alhasil perempuan rela merogoh kantong yang jumlahnya tidak sedikit hanya untuk memenuhi standar kecantikan yang fana itu. Persaingan ini secara perlahan membuat perempuan merasa terlena dan hanya memikirkan fisiknya saja, tidak memikirkan kualitas intelektualnya juga moralnya. Padahal jika diartikan secara luas, cantik bukan hanya sebuah objek yang hanya bisa dinikmati oleh mata, melainkan cantik juga bisa menjadi sebuah subjek dimana perempuan-perempuan mengasah potensi yang ada dalam dirinya. Untuk itu perlu perempuan-perempuan yang progresif yang memahami bahwa ada kejanggalan dalam standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat. Diperlukan pula perempuan-perempuan yang secara intelektual tela...

Pertanyaan yang Tak Butuh Jawaban

Untuk apa kamu hidup?

Karto

Oleh: Zahra Arifia Shaumi Waktu itu kau telah berjanji tak akan tinggalkan kami. Air mataku bahkan tak jadi jatuh sebab kau usap dengan ujung bajumu. Kau mengusap perutku yang waktu itu tengah mengandung anak kita, Karto. “Aku mau cari uang dulu ya. Kamu tak usah khawatir, aku pasti pulang.” Seperti itu ucapmu dua tahun lalu di teras rumah sebelum punggungmu benar-benar tak tampak. Kau berbohong padaku, Karto. Apa kau tak rindu dengan anak ini yang kita buat dengan cinta? Dia sudah mulai cerewet dan ingin tau banyak hal. Sebentar lagi mungkin dia akan bertanya dimana ayahnya, seperti yang teman-teman sebayanya punya. Lalu aku harus menjawab apa, Karto? Bagaimana bisa aku menjawab ayahnya mati, jika tak ada bukti nisan? Bagimana bisa aku menjawab ayahnya pergi dan tak kunjung kembali pada anak yang tak seharusnya ditinggal pergi? Aku tak tega, Karto. Tapi bagaimana bisa disini aku merasa bersalah sendirian, sedangkan dirimu? Apa kau masih ingat aku? Atau bahkan kau sudah memiliki pere...

Tertanda, Pas Mulai Beranjak Dewasa

Akhir-akhir ini aku jadi sering berpikir, sebenernya aku hidup ngejar apa to? Kok kadang rasanya capek dan pengen nyerah aja. Nggak jarang juga kenangan-kenangan di masa kecil berseliweran. Mereka menyapa dengan saru nya, “Piye? Penak dadi cah cilik wae to?”. Yo seandainya Doraemon diciptakan nyata di dunia ini, pasti bisnisnya sudah laris diburu oleh orang yang mulai beranjak dewasa, yang sangat membutuhkan mesin waktu untuk kembali di masa hidupnya yang bisa haha hihi huhu hehe hoho tanpa adanya beban. Beranjak dewasa menurutku adalah masa yang tanggung, bisa dikatakan sudah terlalu besar untuk merengek, tapi juga masih terlalu kecil untuk menyerah. Kadang mau curhat pun percuma. Pikiran nggak menemui ketenangannya. Pasalnya, sudah beberapa kali aku curhat pada orang yang aku anggap sudah melewati masa-masa krisis hidup sepertiku dan jawabanya sama sekali nggak   membuat isi kepalaku berhenti mengoceh. Semua jawaban kurang lebih sama, “Sing sabar” atau, “Wajar kok usiamu ngalam...